Etika Demokrasi Pemerintah Indonesia di Tahun Politik 2024: Kritik dari 30 Guru Besar Undip

Inggrid Hapsari

Etika Demokrasi Pemerintah Indonesia di Tahun Politik 2024: Kritik dari 30 Guru Besar Undip

SEMARANG – Tahun politik 2024 menjadi tahun yang penuh dengan tantangan bagi demokrasi Indonesia. Banyak isu yang mengancam nilai-nilai demokrasi, seperti pelanggaran etika, janji-janji populis, dan utang luar negeri yang membengkak. Di tengah situasi ini, sekelompok civitas akademika Universitas Diponegoro (Undip) menyatakan sikapnya sebagai bentuk keprihatinan dan kewaspadaan.

Aksi Pernyataan Sikap di Kampus Undip

Pada Rabu (7/2/2024), sekitar 30 guru besar dari berbagai fakultas di Undip menggelar aksi pernyataan sikap di depan Gedung Widya Puraya Undip. Mereka adalah anggota masyarakat kampus Diponegoro yang merasa resah dengan kondisi demokrasi terkini. Aksi ini juga didukung oleh mahasiswa, dosen, dan alumni Undip.

Salah satu yang membacakan pernyataan sikap adalah Prof Muhammad Nur dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Undip. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai kehidupan berdemokrasi telah didegradasi secara terang-terangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Etika dan moral dan kehidupan berdemokrasi telah dirusak hingga mencapai titik nadir,” ujarnya.

Berikut isi pernyataan sikap sivitas akademika Undip:

  1. Hukum sejatinya dibuat alat untuk mencapai tujuan negara bukan untuk mencapai kekuasaan belaka. Oleh karena itu kami imbau segenap penyelenggara negara untuk mengembalikan tujuan dibentuknya hukum guna mencapai cita-cita negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD Indonesia tahun 1945.
  2. Memastikan pesta demokrasi yang aman dan damai tanpa intimidasi dan ketakutan sesuai dengan kewenangan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
  3. Bahwa kondisi kehidupan berdemokrasi dewasa ini yang berjalan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan mengalami kemunduran, menjadi pelajaran buruk bagi negara untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, kami mendesak kepada penyelenggara untuk kembali menegakkan pilar-pilar demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila.
  4. Bahwa terdapat fakta adanya pencitraan terhadap nilai-nilai etika luhur yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam mengawal konstitusi sekaligus pilar-pilar kehidupan demokrasi. Hari ini kita melihat bagaimana nilai-nilai kehidupan berdemokrasi didegradasi secara terang-terangan, etika dan moral dan kehidupan berdemokrasi telah dirusak hingga mencapai titik nadir. Untuk itu kami mendesak pemerintah dan mengimbau seluruh bangsa Indonesia untuk kembali menjunjung tinggi etika dan moral dalam berdemokrasi guna menyelamatkan kehidupan bangsa dan bernegara dari potensi kerusakan yang lebih parah sekaligus meningkatkan mutu demi kemajuan bangsa.
  5. Kami juga mengimbau kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan negara yang kewenangan telah diberi legitimasi oleh konstitusi UUD 1945 untuk bersama-sama menjadi garuda terdepan dalam mengawal kehidupan berdemokrasi berbangsa dan bernegara serta tidak tinggal diam atas segala kerusakan etika dan moral yang terjadi dalam kehidupan berdemokrasi.

Kritik Terhadap Keputusan MK No 90 dan Janji-Janji Politisi

Aksi pernyataan sikap ini dipicu oleh adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 90 yang dinilai sebagai pelanggaran etika berat. Keputusan tersebut membolehkan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.

Prof Suradi Wijaya Saputra dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip mengatakan bahwa etika seharusnya menjadi aspek tertinggi dalam setiap tingkah laku, termasuk sikap berpolitik.

“Diawali dengan runtuhnya etika dan moral sejak adanya keputusan MK no 90 yang sudah diputuskan itu merupakan pelanggaran etika berat,” katanya.

Ia juga mengecam janji-janji politisi yang tidak masuk akal dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia mencontohkan janji-janji seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

“Tidak masuk akal janji-janji yang membebani APBN. Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa kita terbebani utang luar negeri yang sangat besar. Janji gratis ini tidak mendidik bangsa. Kemandirian sikap berdikari harus diutamakan,” ungkapnya.

Seruan untuk Mengawal Proses Demokrasi

Selain mengkritik, civitas akademika Undip juga menyerukan kepada seluruh sivitas akademika Undip dan masyarakat luas untuk mengawal proses demokrasi secara terbuka dan kritis. Mereka menginginkan agar nilai moral etika dijunjung tinggi oleh semua pihak yang terlibat dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024.

“Kami punya kepentingan agar nilai moral etika dijunjung tinggi. Kami setuju bahwa kita harus mengawal betul pilpres 2024 ini yang sudah tampak terang benderang adanya pelanggaran etika dan moral,” tegas Prof Suradi.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip, Farid Darmawan, mengatakan bahwa pernyataan sikap yang dilakukan bukan sebatas mengikuti arus politik. Melainkan ada keresahan bersama yang harus disuarakan.

“Kami bukan mengikuti kampus yang lain, tapi ini menandakan bahwasanya simbol-simbol itu tetap ada,” katanya.

Ia juga mengingatkan birokrasi negara untuk terus bersikap netral, bersikap adil dalam pemilu, dan menjaga demokrasi.

“Dalam hal ini mengingatkan birokrasi negara untuk terus bersikap netral, bersikap adil dalam pemilu, pun juga demokrasi,” paparnya.

Also Read

Bagikan: